Ketua
Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC) Teguh Arifiyadi menuturkan bahwa
prostitusi online tidak bisa dikenakan oleh Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), melainkan cukup menggunakan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), ketika mengomentari maraknya prostitusi online belakangan
ini.
Teguh
menilai bahwa prostitusi baik dilakukan secara online, maupun offline tidak
jauh berbeda. Menurutnya, perbedaan hanya kepada penggunaan internet sebagai
sarana. Karenanya, ia berpendapat bahwa prostitusi online cukup diatur melalui
KUHP dan peraturan perundang-undangan terkait.
“UU
ITE tidak pernah mengatur khusus prostitusi online, karena pada prinsipnya
prostitusi baik online maupun offline adalah tidak jauh berbeda, yang menjadi
pembeda dengan hanya dari sisi pemanfaatan atau penggunaan internet sebagai
sarana kejahatan atau pelanggaran. Dengan demikian, sebagai delik konvensional,
prostitusi online cukup diatur melalui KUHP dan peraturan perundang-undangan
terkait,” jelas Teguh kepada Hukumonline pada Senin (25/4).
Teguh
menambahkan bahwa belum ada peraturan khusus yang mengatur mengenai prostitusi
online di Indonesia. Namun, menurutnya, pelaku prostitusi online dapat
dikenakan Pasal 296 KUHP (delik Umum).
“Peraturan
mengenai prostitusi online secara spesifik tidak ada, namun dalam menjerat pelaku
prostitusi online bisa menggunakan pasal 296 KUHP (delik umum), dan dapat
ditambahkan pemberatan dengan penggunaan UU Perlindungan Anak jika pelaku
terindikasi mengeksploitasi anak, atau bahkan dapat menggunakan UU Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jika terindikasi sebagai
jaringan jual beli manusia (human traficking). Ketentuan lain yang bisa
digunakan juga adalah peraturan-peraturan daerah tempat dimana perbuatan atau
sarana pelanggaran terjadi,” jelasnya.
Teguh
menilai peraturan perundang-undangan itu sudah cukup mengatur prostitusi
online, sehingga Indonesia tidak perlu mengatur secara khusus hal tersebut.
“Indonesia tidak perlu mengatur khusus prostitusi online, peraturan
perundang-undangan yang ada cukup untuk mengakomodir kejahatan tersebut. Yang
kurang hanya penegakan hukumnya karena keterbatasan perangkat dan SDM Aparat
Penegak Hukum,” tambahnya.
Menurut
Teguh, yang perlu dilakukan oleh pemerintah ialah melakukan Cyber Patrol secara
komprehensif dan rutin. Dengan adanya cyber patrol tersebut bisa menghasilkan
usulan pemblokiran konten yang tidak sesuai, juga bisa dikaitkan hingga ke
tingkat penyidikan.
“Yang
perlu dilakukan pemerintah adalah mencegah semakin banyaknya prostitusi online
dengan cara melakukan cyber patrol komprehensif dan rutin terhadap konten yang
melanggar ketentuan perundang-undangan (termasuk didalamnya konten prostitusi
yang melanggar kesusilaan),” ujarnya.
“Hasil
cyber patrol bisa ditindaklanjuti dengan usulan pemblokiran konten, penertiban
pelaku secara faktual, atau bahkan bisa dilanjutkan ke proses penyidikan jika
dirasa unsur tindak pidanannya ditemukan,” tambahnya.
Kejahatan
Prostitusi secara umum diatur dalam Buku II KUH Pidana Bab XIV tentang
Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Buku III KUH Pidana Bab II tentang
Pelanggaran Ketertiban Umum. Adapun penjelasan mengenai Tindak Pidana tentang
Prostitusi yang terdapat dalam KUHP:
a. Pasal 296 Buku II
KUH Pidana tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, yang berbunyi : “Barang
siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang
lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana
denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
b.
Pasal 506 Buku III KUH Pidana tentang Pelanggaran Ketertiban Umum, yang
berbunyi: “Barang siapa mengambil keuntungan dari perbuatan cabul seorang
wanita dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, diancam dengan pidana
kurungan paling lama satu tahun”.