Laman

Captain America - Working
  • Beranda
  • Kasus
  • Pembahasan Materi
  • Tentang Kami

Selasa, 12 Mei 2015

Prostitusi Online Tidak Bisa Dikenakan UU ITE, Cukup Menjeratnya Dengan KUHP



Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC) Teguh Arifiyadi menuturkan bahwa prostitusi online tidak bisa dikenakan oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), melainkan cukup menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ketika mengomentari maraknya prostitusi online belakangan ini.
Teguh menilai bahwa prostitusi baik dilakukan secara online, maupun offline tidak jauh berbeda. Menurutnya, perbedaan hanya kepada penggunaan internet sebagai sarana. Karenanya, ia berpendapat bahwa prostitusi online cukup diatur melalui KUHP dan peraturan perundang-undangan terkait.
“UU ITE tidak pernah mengatur khusus prostitusi online, karena pada prinsipnya prostitusi baik online maupun offline adalah tidak jauh berbeda, yang menjadi pembeda dengan hanya dari sisi pemanfaatan atau penggunaan internet sebagai sarana kejahatan atau pelanggaran. Dengan demikian, sebagai delik konvensional, prostitusi online cukup diatur melalui KUHP dan peraturan perundang-undangan terkait,” jelas Teguh kepada Hukumonline pada Senin (25/4).
Teguh menambahkan bahwa belum ada peraturan khusus yang mengatur mengenai prostitusi online di Indonesia. Namun, menurutnya, pelaku prostitusi online dapat dikenakan Pasal 296 KUHP (delik Umum).
“Peraturan mengenai prostitusi online secara spesifik tidak ada, namun dalam menjerat pelaku prostitusi online bisa menggunakan pasal 296 KUHP (delik umum), dan dapat ditambahkan pemberatan dengan penggunaan UU Perlindungan Anak jika pelaku terindikasi mengeksploitasi anak, atau bahkan dapat menggunakan UU Tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jika terindikasi sebagai jaringan jual beli manusia (human traficking). Ketentuan lain yang bisa digunakan juga adalah peraturan-peraturan daerah tempat dimana perbuatan atau sarana pelanggaran terjadi,” jelasnya.
Teguh menilai peraturan perundang-undangan itu sudah cukup mengatur prostitusi online, sehingga Indonesia tidak perlu mengatur secara khusus hal tersebut. “Indonesia tidak perlu mengatur khusus prostitusi online, peraturan perundang-undangan yang ada cukup untuk mengakomodir kejahatan tersebut. Yang kurang hanya penegakan hukumnya karena keterbatasan perangkat dan SDM Aparat Penegak Hukum,” tambahnya.
Menurut Teguh, yang perlu dilakukan oleh pemerintah ialah melakukan Cyber Patrol secara komprehensif dan rutin. Dengan adanya cyber patrol tersebut bisa menghasilkan usulan pemblokiran konten yang tidak sesuai, juga bisa dikaitkan hingga ke tingkat penyidikan.
“Yang perlu dilakukan pemerintah adalah mencegah semakin banyaknya prostitusi online dengan cara melakukan cyber patrol komprehensif dan rutin terhadap konten yang melanggar ketentuan perundang-undangan (termasuk didalamnya konten prostitusi yang melanggar kesusilaan),” ujarnya.
“Hasil cyber patrol bisa ditindaklanjuti dengan usulan pemblokiran konten, penertiban pelaku secara faktual, atau bahkan bisa dilanjutkan ke proses penyidikan jika dirasa unsur tindak pidanannya ditemukan,” tambahnya.
Kejahatan Prostitusi secara umum diatur dalam Buku II KUH Pidana Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Buku III KUH Pidana Bab II tentang Pelanggaran Ketertiban Umum. Adapun penjelasan mengenai Tindak Pidana tentang Prostitusi yang terdapat dalam KUHP:
a. Pasal 296 Buku II KUH Pidana tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, yang berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
b. Pasal 506 Buku III KUH Pidana tentang Pelanggaran Ketertiban Umum, yang berbunyi: “Barang siapa mengambil keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”.